Minggu, 02 Desember 2012

Kemerdekaan, Perjuangan Berkelanjutan


oleh: Syamsul Hadi 
Tanggal 17 Agustus adalah hari bersejarah bagi seluruh bangsa Indonesia, karena pada tanggal tersebut terjadi peristiwa besar berupa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Untuk memperingatinya, berbagai kegiatan diselenggarakan hampir di setiap desa dan kota, mulai dari perlombaan balap karung hingga balap mobil, mulai dari panjat pinang hingga panjat ide berupa lomba karangan ilmiah. Semua itu diselenggarakan dengan gegap gempita dan penuh suka cita.

Selama 350 tahun bangsa ini berada dalam cengkraman bangsa asing, dikeruk kekayaan alamnya, dibodohkan rakyatnya dan dicuci otaknya lalu diwariskan cara menjajah. Mental terjajah itu melekat erat dalam memorinya sehingga sulit untuk bangkit menjadi bangsa yang mandiri.

Tanggal 17 Agustus 1945 merupakan jembatan emas menuju masa depan gemilang. Jembatan penghubung antara cita-cita dengan kenyataan. Kenyataan hari ini adalah cita-cita masa lalu. Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah cita-cita para pejuang yang telah mempersembahkan jiwa dan raganya. Mereka menempuh kerja besar karena memiliki jiwa besar, jiwa pengabdian dalam perjuangan yang tak kenal lelah dan menyerah meskipun untuk itu, jiwa melayang dan jasad terkapar berkalang tanah. Mereka telah membangun “jembatan” bagi generasi baru untuk melanjutkan perjalanan bangsa menuju negara yang merdeka, berdaulat dan bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Para pejuang itu, kini menjadi kenangan sebagai pahlawan, sebuah kenangan yang tidak mempertemukan mereka dengan kenikmatan pasca kemerdekaan, sebuah kenangan yang hanya menyisakan upacara tabur bunga di setiap tanggal 17 Agustus. Sebuah kenangan yang dipersembahkan oleh generasi setelahnya.

Berbeda dengan manusia, Allah mengapresiasi mereka dengan sebutan hidup, dan melarang manusia  untuk mengatakan bahwa mereka telah mati(QS.2:154). Hakikat kehidupan -menurut ayat ini- sesungguhnya dimulai pada saat manusia menemui ajalnya. Karena pada saat itu ruh manusia keluar dari alam materi  dan “ruang ujian” kehidupan yang tidak sepi dari jebakan dan tipu daya, baik yang dilancarkan oleh nafsunya sendiri mapun oleh Iblis, menuju pada keabadian.

Cara pandang manusia terhadap kematian orang yang berperang di jalan Allah terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menganggap bahwa kematian adalah awal kebinasaan, mereka adalah pengikut Abdullah bin Ubay bin Salul. Dalam perang Badar kaum muslimin gugur 14 orang, 6 dari Muhajirin dan 8 dari Anshar. Lalu para pengikut Ubay mengatakan bahwa mereka telah mati, mereka telah kehilangan kenikmatan dunia, dan komentar miring lainnya,  lalu turun ayat
Artinya: Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”

Kelompok kedua adalah mereka yang memahami ayat tersebut dan tidak terpengaruh oleh tampilan fisik.  Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim, ahli tafsir kelahiran Bagdad yang hidup pada abad ke delapan Hijriyah menjelaskan dalam tafsir al-Khazin :
وإنما أحياهم الله عز وجل في الوقت لإيصال الثواب إليهم . وعن الحسن أن الشهداء أحياء عند الله تعالى تعرض أرزاقهم على أرواحهم ، ويصل إليهم الروح والريحان والفرح كما تعرض النار عى أرواح آل فرعون غدوة وعشياً فيصل إليهم
Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla menghidupkan mereka untuk diberi pahala, dan sesungguhnya orang-orang yang mati syahid, itu hidup di sisi Allah, rizki mereka ditampakkan pada ruh mereka,  dan ruh mereka merasakan kesenangan, sebagaimana ditampakkan api neraka  kepada Fir’aun  di waktu pagi dan petang dan adzab itu sampai padanya.

Bagi sebagian anak sekolah, tanggal 17 Agustus dan berkibarnya bendera merah putih bisa jadi bermakna kegembiraan sesaat; iuran seribuan lalu dibelikan kertas merah putih digunting-gunting dan dikibarkan di atas kepala. Gembira karena mampu mempersembahkan sobekan kertas dan pengorbanan seribu rupiah. Sesaat kemudian menyesal karena jatah uang jajannya berkurang. Gembira karena bukan mereka yang mencari uang seribu rupiah. Orang tua meraka yang banting tulang dan peras keringat demi angkos hidup dan pendidikan serta permainan anaknya.

Bagi sebagian masyarakat, khususnya yang jauh dari rambu-rambu pembangunan, tanggal 17 Agustus sama dengan saat-saat lainnya, tiada yang istimewa. Karena mereka terlalu lama tidak dikenal dalam istilah pembangunan, lalu mereka tidak peduli dan tidak mau tahu ada apa dibalik 17 Agustus dan bendera merah putih. Meskipun  terkadang juga mengibarkannya.

Sesungguhnya perjuangan itu tidak mengenal kata henti. Ia adalah mata rantai kerja keras untuk   melepaskan diri dari penjajahan, mengisi kemerdekaan dengan pembangunan manusia seutuhnya, bersaing dengan negara-negara penduduk dunia dan seterusnya. Berhenti berjuang berarti merelakan diri terperangkap dalam penjajahan, karena negara yang kuat cenderung menguasai negara yang lemah. Oleh karena itu Islam memberikan perhatian besar terhadap perjuangan, sama besarnya terhadap shalat, puasa dan kewajiban lainnya.

Kemerdekaan yang telah dicapai bangsa Indonesia, membutuhkan kerja keras dalam berbagai sektor; pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sebagai bangsa yang sedang “menggeliat” dalam keterpurukan yang berkepanjangan, perlu kita ingatkan kepada pemegang amanah negeri ini bahwa dana yang dihamburkan untuk membangun patung, monumen, pelesiran, dan berbagai fasilitas hiburan, masih terlalu besar dibandingkan anggaran pendidikan, itu pertanda bahwa budaya ilmu kita masih jauh dari tradisi bangsa itu. Kemerdekaan hanyalah kosa kata baru dalam sejarah Indonesia kalau tidak direspon dengan upaya kebangkitan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Sekedar perbandingan lihatlah Jepang, bagaimana bangsa kecil ini mampu bangkit dengan menjadikan budaya ilmu sebagai asasnya. Bom sekutu yang meluluhlantakkan beberapa kotanya terbukti tidak mampu menghentikan kebangkitan bangsa ini di dunia sains dan ilmu pengetahuan, yang kemudian mampu menguasai dunia dengan industri dan perdagangannya.

Jihad dalam belajar adalah bagian yang harus kita ambil untuk mengisi kemerdekaan ini agar tidak terperangkap dalam neo-kolonialisme kaum kapitalis yang kejam dan tak berperikamunisaan.
Dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman” (QS. 3: 139)
 
Wallahu a'lam
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar