oleh: Syamsul Hadi
Tanggal 17 Agustus adalah hari bersejarah bagi seluruh bangsa Indonesia, karena pada tanggal tersebut terjadi
peristiwa besar berupa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Untuk memperingatinya, berbagai
kegiatan diselenggarakan hampir di setiap desa dan kota, mulai dari perlombaan balap karung
hingga balap mobil, mulai dari panjat pinang hingga panjat ide berupa lomba
karangan ilmiah. Semua itu diselenggarakan dengan gegap gempita dan penuh suka
cita.
Selama 350 tahun bangsa ini berada dalam cengkraman bangsa asing,
dikeruk kekayaan alamnya, dibodohkan rakyatnya dan dicuci otaknya lalu
diwariskan cara menjajah. Mental terjajah itu melekat erat dalam memorinya
sehingga sulit untuk bangkit menjadi bangsa yang mandiri.
Tanggal 17 Agustus 1945 merupakan jembatan emas menuju masa depan
gemilang. Jembatan penghubung antara cita-cita dengan kenyataan. Kenyataan hari
ini adalah cita-cita masa lalu. Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah
cita-cita para pejuang yang telah mempersembahkan jiwa dan raganya. Mereka menempuh
kerja besar karena memiliki jiwa besar, jiwa pengabdian dalam perjuangan yang
tak kenal lelah dan menyerah meskipun untuk itu, jiwa melayang dan jasad
terkapar berkalang tanah. Mereka telah membangun “jembatan” bagi generasi baru untuk
melanjutkan perjalanan bangsa menuju negara yang merdeka, berdaulat dan
bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, baldatun
thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Para pejuang itu, kini
menjadi kenangan sebagai pahlawan, sebuah kenangan yang tidak mempertemukan
mereka dengan kenikmatan pasca kemerdekaan, sebuah kenangan yang hanya
menyisakan upacara tabur bunga di setiap tanggal 17 Agustus. Sebuah kenangan yang
dipersembahkan oleh generasi setelahnya.
Berbeda dengan manusia, Allah mengapresiasi mereka dengan sebutan hidup,
dan melarang manusia untuk mengatakan
bahwa mereka telah mati(QS.2:154). Hakikat kehidupan -menurut ayat ini-
sesungguhnya dimulai pada saat manusia menemui ajalnya. Karena pada saat itu
ruh manusia keluar dari alam materi dan
“ruang ujian” kehidupan yang tidak sepi dari jebakan dan tipu daya, baik yang
dilancarkan oleh nafsunya sendiri mapun oleh Iblis, menuju pada keabadian.
Cara pandang manusia terhadap kematian orang yang berperang di jalan
Allah terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menganggap bahwa kematian
adalah awal kebinasaan, mereka adalah pengikut Abdullah bin Ubay bin Salul.
Dalam perang Badar kaum muslimin gugur 14 orang, 6 dari Muhajirin dan 8 dari
Anshar. Lalu para pengikut Ubay mengatakan bahwa mereka telah mati, mereka
telah kehilangan kenikmatan dunia, dan komentar miring lainnya, lalu turun ayat
Artinya:
Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka)
telah mati. Sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
Kelompok kedua adalah mereka yang memahami ayat tersebut dan tidak
terpengaruh oleh tampilan fisik. Abu
Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim, ahli tafsir kelahiran Bagdad
yang hidup pada abad ke delapan Hijriyah menjelaskan dalam tafsir al-Khazin :
وإنما أحياهم
الله عز وجل في الوقت لإيصال الثواب إليهم . وعن الحسن أن الشهداء أحياء عند الله
تعالى تعرض أرزاقهم على أرواحهم ، ويصل إليهم الروح والريحان والفرح كما تعرض
النار عى أرواح آل فرعون غدوة وعشياً فيصل إليهم
Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla
menghidupkan mereka untuk diberi pahala, dan sesungguhnya orang-orang yang mati
syahid, itu hidup di sisi Allah, rizki mereka ditampakkan pada ruh mereka, dan ruh mereka merasakan kesenangan,
sebagaimana ditampakkan api neraka
kepada Fir’aun di waktu pagi dan
petang dan adzab itu sampai padanya.
Bagi sebagian anak sekolah, tanggal 17 Agustus dan berkibarnya bendera
merah putih bisa jadi bermakna kegembiraan sesaat; iuran seribuan lalu
dibelikan kertas merah putih digunting-gunting dan dikibarkan di atas kepala.
Gembira karena mampu mempersembahkan sobekan kertas dan pengorbanan seribu
rupiah. Sesaat kemudian menyesal karena jatah uang jajannya berkurang. Gembira
karena bukan mereka yang mencari uang seribu rupiah. Orang tua meraka yang
banting tulang dan peras keringat demi angkos hidup dan pendidikan serta
permainan anaknya.
Bagi sebagian masyarakat, khususnya yang jauh dari rambu-rambu
pembangunan, tanggal 17 Agustus sama dengan saat-saat lainnya, tiada yang istimewa.
Karena mereka terlalu lama tidak dikenal dalam istilah pembangunan, lalu mereka
tidak peduli dan tidak mau tahu ada apa dibalik 17 Agustus dan bendera merah
putih. Meskipun terkadang juga mengibarkannya.
Sesungguhnya perjuangan itu tidak mengenal kata henti. Ia adalah mata
rantai kerja keras untuk melepaskan diri dari penjajahan, mengisi
kemerdekaan dengan pembangunan manusia seutuhnya, bersaing dengan negara-negara
penduduk dunia dan seterusnya. Berhenti berjuang berarti merelakan diri
terperangkap dalam penjajahan, karena negara yang kuat cenderung menguasai
negara yang lemah. Oleh karena itu Islam memberikan perhatian besar terhadap perjuangan,
sama besarnya terhadap shalat, puasa dan kewajiban lainnya.
Kemerdekaan yang telah dicapai bangsa Indonesia, membutuhkan kerja keras
dalam berbagai sektor; pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sebagai bangsa yang sedang
“menggeliat” dalam keterpurukan yang berkepanjangan, perlu kita ingatkan kepada
pemegang amanah negeri ini bahwa dana yang dihamburkan untuk membangun patung,
monumen, pelesiran, dan berbagai fasilitas hiburan, masih terlalu besar
dibandingkan anggaran pendidikan, itu pertanda bahwa budaya ilmu kita masih
jauh dari tradisi bangsa itu. Kemerdekaan hanyalah kosa kata baru dalam sejarah
Indonesia kalau tidak direspon dengan upaya kebangkitan ilmu pengetahuan, sains
dan teknologi. Sekedar perbandingan lihatlah Jepang, bagaimana bangsa kecil ini
mampu bangkit dengan menjadikan budaya ilmu sebagai asasnya. Bom sekutu yang
meluluhlantakkan beberapa kotanya terbukti tidak mampu menghentikan kebangkitan
bangsa ini di dunia sains dan ilmu pengetahuan, yang kemudian mampu menguasai
dunia dengan industri dan perdagangannya.
Jihad dalam belajar adalah bagian yang harus kita
ambil untuk mengisi kemerdekaan ini agar tidak terperangkap dalam
neo-kolonialisme kaum kapitalis yang kejam dan tak berperikamunisaan.
“Dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan
pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang
beriman” (QS. 3: 139)
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar