Kamis, 22 November 2012

URGENSI REGENERASI


Kapitalisasi umur
Sayyid Qutub dalam kitabnya, Afrahur Ruh, menyatakan:
“Jika kita hidup hanya untuk meraih obsesi pribadi, maka hidup ini sangat singkat tak bernilai, dimulai  dari kapan kita sadar dan berakhir ketika ajal tiba. Sebaliknya jika hidup adalah untuk meraih cita-cita umat, atau untuk memperjuangkan pemikiran maka hidup menjadi sangat panjang dan sangat penting, dimulai sejak munculnya pemikiran dan akan terus berlanjut sampai hancurnya bumi ini.”

Orang hidup yang membawa cita-cita umat, akan mengolah waktu dan seluruh potensi dirinya untuk kerja besar. Akan menyusun prioritas kerja, sehingga tidak terjebak dalam masalah kecil yang seringkali menyita energi dan waktu. Orang yang bekerja untuk umat, dampak kerjanya sangat luas dan menembus batas waktu. Orang ini akan memanfaatkan waktunya untuk peningkatan diri, dan membangkitkan masyarakat serta menginvestasikannya untuk sejarah. Tiga kerja tersebut terus dilakukan sehingga menjadi karakter dan akhlak. Adalah Imam Abu Hanifah, tokoh besar yang kita kenal sebagai salah seorang imam madzhab fiqih, merupakan  saudagar kaya raya, sibuk dengan dagangnya di siang hari dan sangat perhatian terhadap orang-orang yang mencari ilmu. Saat malam tiba, ketika orang-orang menuju peraduan mereka, ia memakai pakaian yang paling bagus, merapikan jenggotnya dan memakai minyak wangi kemudian menuju mihrabnya, menghidupkan malamnya dan larut dalam khusyu’ beribadah kepada Allah. Beliau juga dikenal sebagai orang yang selalu melakukan shalat Subuh dengan wudhunya di waktu shalat Isya’ . Kebiasaan itu dilakukan selama empat puluh tahun , tidak pernah sekalipun terlewatkan. Beliau juga telah mengkhatamkan al-Qur’an di tempat di mana ia meninggal sebanyak 7000 kali. Begitulah perhatian beliau terhadap waktu dan caranya melipatgandakan kesalihan. Beliau sadar singkatnya kuantitas umur manusia, dan tidak mau kualitasnya sesingkat itu.

Lembaran sejarah hanya mendaftar nama-nama orang besar, yaitu mereka yang punya konstribusi terhadap kemanusiaan, bukan orang-orang yang sukses tetapi hanya untuk dinikmati sendiri, bukan pula orang yang berilmu tetapi sebatas gelar yang tidak menghadirkan pencerahan bagi masyarakat sekitarnya. Lembar hitam sejarah memang ada dan tersedia bagi mereka yang punya saham bagi kehancuran umat manusia. Bahkan al-Qur’an juga mengabadikan nama-namanya, seperti Abu Lahab, Fir’aun dan Qarun.

Bill Gate dikenal dunia bukan karena ia terkaya di dunia tetapi karena kepeduliannya terhadap kemanusiaan, telah banyak orang maju berkat jasanya, dan karyanya banyak memudahkan kehidupan penduduk dunia. Dengan Microsoftnya ia menginspirasi dunia perkomputeran.

Cita-cita untuk umat Islam?
Sudahkah kita bercita-cita? Dan sejalankah dengan cita-cita Islam?
Islam adalah agama yang direkomendasikan oleh Allah untuk dijadikan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia di setiap zaman dan di semua tempat. Dan karenanya Allah mengamanahkan kepada kaum muslimin untuk menampakkan Islam sebagai pemimpin peradaban dunia.

Di sini, kita, civitas akademika Al-Izzah mendapatkan amanah untuk merealisasikan misi “The world in our hands,”. Menggenggam dunia dengan tangan. Secara sufistik mengandung makna mengendalikan dunia dengan tangan dan tidak memasukkannya ke dalam hati serta tidak menjadikannya sebagai tujuan hidup melainkan sebagai sarana untuk menggapai kebahagiaan akhirat. mungkinkah? Sangat mungkin, bukankah nothing is impossible, dan relevan dengan perintah Allah:

Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.Al-Qhasas: 77)
Untuk mengarah ke sana, kita harus meningkatkan kualitas diri agar menembus prestasi Internasional, siap mengibarkan bendera al-Izzah di antara bendera dari negara-negara lain. Tentu tantangannya semakin besar sebab seluruh mata tertuju pada bendera kita, ada yang senang menyambutnya tetapi juga tidak sedikit yang ingin menurunkannya.

Cita-cita besar Al-Izzah, hanya bisa diusung oleh kumpulan pribadi-pribadi yang memiliki kebesaran jiwa. Jiwa-jiwa yang sanggup menyelaraskan tujuan pribadinya dengan cita-cita lembaga, mensinergikan varian potensinya dengan peluang amal lembaga. Pribadi yang memahami bahwa Al-Izzah adalah wahana pengembangan diri dan ummat serta prasasti hidup untuk mengukir sejarah.
Al-Izzah sadar betul bahwa kerja besar ini memerlukan dukungan besar, namun tidak membuatnya semakin longgar dalam merekrut sumber daya manusia. Ada sistem yang jelas dan pengawalan yang konsisten untuk memastikan proses kaderisasi dan kepemimpinan berjalan dengan baik.

Regenerasi kepemimpinan telah menjadi pemikiran founding father Yayasan Al-Izzah sejak pertama kali didirikan. Dan dalam perjalanannya selama 20 tahun telah terbukti, regenerasi  berjalan dengan baik. Tidak ada konflik di tubuh yayasan dan unit-unit di bawahnya. Suksesi kepemimpinan berjalan dengan mulus tanpa gaduh di dalam dan gunjingan di luar. Tidak ada pertanyaan Al-Izzah milik siapa? Dan karenanya semakin banyak orang yang menaruh kepercayaan, semakin tergerak hatinya untuk mewakafkan hartanya. Tentu semua itu amanah yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab. 

Regenerasi
Setiap pemimpin pasti akan terpisah dari jabatannya baik diserahkan maupun diminta dengan paksa, tetapi pengaruhnya tidak akan pernah mati. Kepemimpinan adalah masalah pengaruh, bukan sosok manusianya. Maka memimpin terkadang tidak membutuhkan tampuk kekuasaan formal. Siapa yang banyak berbuat nyata untuk kemaslahatan masyarakat, dialah yang akan selalu diikuti oleh mereka.  Pemimpin besar menyadari kenyataan ini, maka ia memprioritaskan kepemimpinannya untuk kerja yang manfaatnya banyak dirasakan oleh masyarakat seluas-luasnya dan dampaknya bertahan lama. Pemimpin besar berwawasan jauh kedepan meskipun pada saat itu kebijakannya tidak populis.

Pilihan Abu Bakar Shidiq RA. ketika mengawali khilafahnya adalah memerangi kaum muslimin yang mertad dan yang tidak mau membayar zakat. Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut, selalu menghindari ketegangan setiap memutuskan perkara, namun dalam hal ini dengan gagah dan tegas mengobarkan perang kepada orang yang menyimpang. Tentu ini di luar dugaan para sahabat, tidak populer, tetapi inilah prioritas amal seorang pemimpin yang visioner. Sejarah mencatat, hanya dalam kurun dua tahun Abu Bakar berhasil mengokohkan kembali keimanan dan persatuan kaum muslimin pada saat itu untuk selanjutnya diteruskan oleh Umar bin Khattab dengan kekuatan militernya, ekspansi besar-besaranpun berjalan.
Qana’ah
Berkaca dari kisah-kisah di atas, diharapkan setiap kita memposisikan diri pada tugas masing-masing, profesional di unitnya dan tetap  memahami arah kebijakan yayasan, sehingga tetap kreatif dan inovatif demi kemajuan namun tetap santun dan toleran terbingkai dalam cita-cita besar The world in our hands. Jika kamu menolong agama Allah niscaya Allah akan menolongmu dan akan meneguhkan langkah-langkahmu.  Dirgahayu Al-Izzah. 
__________ 
Oleh: Syamsul Hadi, S.Sos.I. 


IDUL FITRI MENUJU KEMENANGAN


Oleh: Syamsul Hadi
Setiap orang yang berkompetisi mengiginkan kemenangan. Kemenangan tidak pernah berpihak kepada mereka yang tidak sungguh-sungguh, apalagi kepada mereka yang sekedar sebagai penonton.  Sering kali kita fasih mengomentari pertandingan dari luar ring, akan tetapi ketika masuk ring, nafas terengah-engah…. dan hanya mampu menahan sakit akibat serangan lawan, tidak mampu  menyerang. Lalu mencari bermacam alasan untuk memubahkan kekalahan. Dan yang menggelikan, sudah kalah merasa benar, akibatnya tidak pernah belajar dari kekalahan. Padahal kemenangan dan kekalahan itu bagai dua sisi mata uang, saling melengkapi, namun hadir bergantian.
 
Sadarkah kita, bahwa setiap detik bertarung melawan hawa nafsu dan setan. Kita berambisi untuk masuk surga, sementara setan tidak pernah membiarkan kita merangkai amal soleh. Kita ingin bergabung bersama hamba-hamba Allah yang dicintai di surga, sementara setan tidak rela sehingga kita menjadi pengikutnya. Maka jangan sampai kita menganggap setan sebagai kawan lalu bekerja sama lantaran tidak mampu mengambil ibrah di balik peristiwa dan kisah kaum terdahulu.  Kita memang bukan manusia tanpa dosa akan tetapi Allah selalu memberi  kesempatan untuk mengenyahkan dosa-dosa itu.
Dan Allah hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (QS. An-Nisa: 27)

Ramadhan adalah bulan, di mana pintu surga dibuka, neraka jahim ditutup dan setan dibelenggu, bulan pembelaan Allah bagi kaum muslimin agar memanfaatkan hari-hari Ramadhan, sehingga terjadi lompatan prestasi ibadah, setelah sebelas bulan sibuk beraktifitas, di mana setan tidak dibelenggu, di mana kecenderungan dalam sebelas bulan itu -jika dikalkulasikan- antara usia dengan prestasi ibadah kita tidak seimbang. Laju hilangnya usia kita jauh lebih cepat dibandingkan capaian ibadah yang kita lakukan. Bandingkan, dalam sehari saja, antara waktu yang kita manfaatkan untuk berdzikir kepada Allah dengan waktu yang kita sia-siakan (nonton TV, sekedar duduk-duduk ngobrol tanpa tujuan yang jelas, ngrumpi ke sana kemari)?. Jujur saja, ternyata waktu yang terbuang sia-sia, jauh lebih banyak. Lalu dengan apa kita menebus surga, tempat berbahagia yang abadi? Padahal seluruh waktu yang kita miliki, jika saja diisi dengan ibadah total, belum mencukupi.  Sanggupkah amal kita mengantarkan ke surga?
Simaklah hadits berikut:
                Dari Abi Hurairah RA. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorangpun
Yang masuk surga oleh karena amalnya. Lalu ada yang bertanya: ”Termasuk engkau ya Rasullah?. Rasulullah Saw menjawab; ya (termasuk aku) hanya saja Allah melindungiku dengan rahmat-Nya. “(HR. Muslim)
Hadits ini, tidak bertentangan dengan firman Allah : “ Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan”.(QS Zukhruf: 73)
Maksud ayat di atas adalah: Seseorang itu masuk surga disebabkan amal-amalnya.  Adapun hadits di atas mengandung pengertian, bahwa berkat taufiq Allah manusia beramal dan berkat hidayah-Nya amal itu dilakukan dengan ikhlas lalu keikhlasan itu mendatangkan rahmat Allah, amal ibadahnya diterima lalu diperkenankan masuk surga.” (Lihat  Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim Juz 9 hal. 197)
Jadi untuk mendapatkan surga, kita harus beramal, bukan sekedar maksimal secara kuantitas namun juga harus berkualitas. Sacara madhahir amal kita lakukan dengan sungguh-sungguh dan substansinya harus kita pelihara  supaya layak diterima di sisi Allah.  Jaudatul ada’ dalam amal ibadah berdampak pada kemaslahatan pribadi dan sosial sedangkan ikhlasunniyat berdampak pada kebahagiaan di akhirat.  Jaudatul ada’ dan ikhlasul amal merupakan syarat diterimanya amal ibadah kita.
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya".(QS.Al-Kahfi: 110)

Terkait dengan hal ini, lihatlah bagaimana kesungguhan para sahabat dan tabi’in di dalam menjaga amal ibadah mereka. Dalam suasana perangpun mereka masih menegakkan shalat berjama’ah. Sebagai bukti, al-Qur’an menjelaskan cara shalat khauf secara rinci:

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (QS. An-Nisa’ 102)

Sungguh berbahagialah kita, karena Allah memperkenankan bertemu dengan Ramadhan tahun ini. Selanjutnya mari kita syukuri dengan memperbaiki kualitas ibadah disamping peningkatan kuantitasnya. Sadarlah bahwa bekal kita masih jauh dari yang kita butuhkan untuk menghadapi kematian. Barangkali shalat kita baru sebatas menggugurkan kewajiban.
من صلي صلاة لوقتها وأسبغ وضوءها وأتم ركوعها وسجودها وخشوعها عرجت وهي بيضاء مصفرة تقول حفظك الله كما حفظتني ومن صلاها لغير وقتها ولم يسبغ وضوءها ولم يتم ركوعها ولا سجودها ولا خشوعها عرجت وهي سوداء مظلمة تقول ضيعك الله كما ضيعتني، حتى إذا كانت حيث شاء الله لفت كما يلف الثوب الخلق فيضرب بها وجهه (مجموعة السائل ص:70).
Barang siapa shalat tepat pada waktunya dan memperbagusi wudhu’nya, menyempurnakan ruku’ dan sujudnya serta khusyu’nya maka shalat itu menju Allah dalam keadaan putih bersih lalu mengatakan;” Allah telah menjagamu sebagaimana engkau menjagaku.” Dan barang siapa mengerjakan shalat di luar waktunya/tidak tepat waktu dan tidak memperbagusi wudhu’nya, tidak menyempurnakan ruku’nya dan sujud serta khusyu’nya, maka shalatpun terbang dalam keadaan berwarna hitam pekat lalu berkata:” semoga Allah menyia-nyiakanmu sebagaimana engkau telah menyia-nyiakanku, sehingga jika Allah berkehendak akan melipat shalat tersebut seperti mengoyak baju kusut lalu melemparkannya ke wajahnya( orang yang shalat)

Harapan kita di saat Idul fitri nanti, termasuk orang-orang yang mendapatkan kemenangan, setelah berhasil mengisi hari-hari Ramadhan dengan amal ibadah yang membuahkan kesucian. 
Ucapan selamat dan do’a-do’a di bulan Syawal, bukan sekedar bahasa poster yang hampa dan kering dari makna.  Senyum bahagia dan keceriaan di wajah keluarga kaum muslimin tidak berhenti sebatas kesenangan karena telah bebas dari kewajiban puasa dan hiasan pakaian baru dan tebaran kue lebaran . 
Semoga Allah menerima amal ibadah kita semua, semoga kita termasuk orang yang mendapatkan kesucian dan kemenangan semoga kebaikan itu berkesinambungan sepanjang tahun.  Itulah do’a-do’a dan ungkapan bahagia di bulan Syawal. Ungkapan bersayap yang membutukan perawatan sepanjang tahun. Barang siapa gagal meraihnya sungguh sangat merugi.  Man hurima khairaha faqad hurima.  Wallahu a’lam.

Rabu, 21 November 2012

Halal Bihalal


   وعن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من كانت عنده مظلمةٌ لأخيه؛ من عرضه أو من شيءٍ، فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينارٌ ولا درهمٌ؛ إن كان له عملٌ صالحٌ أخذ منه بقدر مظلمته، وإن لم يكن له حسناتٌ أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه رواه البخاري
Dari Abi Hurairah RA. Dari Rasulullah Saw. Bersabda: Barang siapa memiliki perbuatan dzalim terhadap saudaranya  menyangkut harga diri atau sesuatu lainnya, hendaklah hari ini memohon halal darinya sebelum Dinar dan Dirham tidak berlaku. Barang siapa memiliki (pahala) amal shalih akan diambil sesuai kedzaliman yang telah ia lakukan, jika tidak memilikinya maka ia akan diambilkan dosa dari orang yang didzaliminya lalu dibebankan kepadanya. (HR. Bukhari)

Halal bihalal memang bukan istilah syar’i yang mendapatkan porsi khusus dalam bahasan fiqih ataupun aqidah. Namun bukan berarti sesuatu yang dilarang secara syar’i. Halal bihalal diperintahkan berdasarkan hadits di atas. Adapun teknis pelaksanaannya tidak dijelaskan secara rinci. Hal ini menguntungkan kaum muslimin dan akan selalu aktual dan relevan dengan kondisi zaman. Atau barangkali sudah dilakukan kalangan tertentu akan tetapi tidak diberi nama halal bihalal. 
Pada umumnya halal bihalal adalah kegiatan silaturahim antara dua orang atau lebih yang menghalalkan/menghapuskan kesalahan yang telah mereka lakukan dengan saling memaafkan sesama mereka dalam moment Idul Fitri.
Halal bihalal hukumnya bid’ah bagi mereka yang hanya memahami bahwa ia merupakan ibadah dan karenanya harus ada nash sharih (dalil naqli) yang penunjukannya langsung dengan lafadz Halal bihahal, karena memang tidak ada lafadz halal bihalal di hadits manapun di dalam al-Qur’an. Akan tetapi halal bihalal hukumnya sunnah bahkan wajib bagi mereka yang memahami bahwa tidak setiap perintah harus menggunakan nash sharih. Dan faktanya,  syari’at Islam banyak sekali yang tidak ditunjuki dengan nash sharih atau dalil naqli lafdzi.  
Halal bihalal adalah implementasi dari فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينارٌ ولا درهمٌ (maka hendaklah ia memohon dihalalkan darinya pada hari ini sebelum Dinar dan Dirham tidak berlaku).
Janganlah memperdebatkan hukum halal bihalal melebihi porsi yang dibutuhkan agar tidak lupa terhadap substansi hadits di atas.

Hampir pasti, kita semua pernah mendzlimi orang lain menyangkut harga diri maupun materi/harta kepemilikan. Terkadang hal itu terjadi dengan kesadaran dan terkadang di luar kesadaran, bukan karena tidak tahu tetapi karena telah menjadi kebiasaan. Sebut saja  ghibah misalnya, bisa jadi ia bergulir dengan asyik seolah bukan perbuatan dosa dengan dalih untuk perbaikan. Padahal kebaikan apakah yang didapat oleh orang yang dibicarakan aibnya selain semakin merosot harga dirinya di hadapan orang lain, dan setelah itu semakin meluas aibnya yang berarti semakin sempit wilayah kepercayaan publik terhadapnya.  
Caci maki, umpat, hardik dan sumpah serapah terjadi satu sama lainnya selain menyisakan sakit hati adalah merupan penindas akal pikiran positif, yang jika terjadi terus-menerus akan menyebabkan otak bekerja untuk membenarkan kata-kata yang tidak terpuji itu. Dan pada gilirannya akan melahirkan umat/bangsa yang tidak bermartabat.
‘Ujub seolah-olah menjadi barang yang halal sebab secara sosial tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Padahal orang ‘ujub cenderung menganggap rendah orang lain sekalipun tidak diungkapkan secara verbal. Dengan demikian masyarakat dirugikan olehnya terutama dalam masyarakat pendidikan. Setidaknya akan menular kepada orang lain sebagai bentuk pembalasan terhadapnya.
Itulah sebagaian “kebiasaan-kebiasaan” yang mesti dienyahkan dari pergaulan kemanusiaan, dan Islam hadir membawa kebenaran yang tidak mengandung keraguan. Kita sebagai manusia biasa tetapi mendapatkan predikat sebagai muslim yang berarti menisbatkan kemanusiaan kita kepada Islam.  Konsekwensinya, tuntutan Islam harus kita utamakan mengalahkan pertimbangan perasaan dan kemanusiaan, sebab Islam adalah kebenaran mutlak sementara manusia merupakan kumpulan nurani dan nafsu, berpotensi memahami dan mengamalkan wahyu tetapi juga rentan tipu daya setan, bisa mulia bisa juga hina.
Hendaknya kita semua memahami halal-bihalal dengan benar, agar sasaran yang diharapkan dapat kita raih. Ada baiknya kita bahas masalah taubat terlebih dahulu, karena keberhasilan halal bihalal kita berkaitan erat dengannya.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar taubat kita sah dan diterima oleh Allah Swt. Jika perbuatan dosa atau maksiyat itu dilakukan oleh mansuia kepada Tuhannya dan tidak berkaitan dengan hak Adami maka syaratnya ada tiga, pertama berusaha mencabut maksiyat, kedua menyesali perbuatan maksiyat dan ketiga bera’zam untuk tidak megulangi lagi. Jika satu saja dari syarat tersebut tidak ada maka taubat itu tidak sah.
Selanjutnya  jika maksiyat itu menyangkut hak Adam maka syarat tersebut ditambah satu lagi yaitu minta dibebaskan kepada orang yang didalimi ; jika harta maka harus dikembalikan, jika had qodaf maka harus dilaksanakan atau memohon maaf darinya, dan jika ghibah maka harus berterus terang dan mohon untuk dihalalkan.
Berdasarkan uraian di atas, halal bihalal semestinya disertai ungkapan verbal permintaan maaf dan penjelasan kesalahan yang telah ia lakukan, jika kesalahan itu menyangkut masalah harga diri, dan jika menyangkut masalah materi atau harta maka harus ada pengembalian harta tersebut. Jika belum mampu, hendaklah memohon waktu kepada pihak yang dirugikan, atau jika tidak memungkinkan, minta keringanan kepadanya.
Tanpa keterbukaan, sesungguhnya bisa saja pihak yang dirugikan memaafkan tetapi niat maaf tersebut tidak meliputi kadzaliman yang tidak disebutkan. Ini artinya halal bihahal yang masih menyisakan dosa. Halal bihalal yang secara lahir menghadirkan keharmonisan namun tidak mampu mengembalikan fitrah sebelum kezaliman.
Upaya ini memang berat, mungkin masih jarang kaum muslimin yang mampu melakukannya. Tetapi jauh lebih berat jika tidak dilakukan. Oleh karena itu simaklah pernyataan Rasulullah Saw. Berikut ini:
Dari Abi Hurairah RA. Dari Rasulullah Saw. Bersabda: Barang siapa memiliki perbuatan dzalim terhadap saudaranya  menyangkut harga diri atau sesuatu lainnya, hendaklah hari ini memohon halal darinya sebelum Dinar dan Dirham tidak berlaku. Barang siapa memiliki (pahala) amal shalih akan diambil sesuai kedzaliman yang telah ia lakukan, jika tidak memilikinya maka ia akan diambilkan dosa dari orang yang didzaliminya lalu dibebankan kepadanya. (HR. Bukhari)
Ada dua opsi yang ditawarkan dalam sabda nabi di atas: pertama menyelesaikan urusan di dunia dengan menempuh jalan taubat yang benar. Halal bihalal dengan mengembalikan segala sesuatu pada tempatnya atau orangnya yang berhak. Kedua membawa urusannya ke akhirat yang berarti siap untuk bangkrut. Padahal ia sendiri membutuhkan bekal yang sangat banyak. Ia akan dikurangi pahala kebaikannya untuk diberikan kepada orang yang dizalimi.
Marilah kita maknai halal bihalal tahun ini dengan taubat yang benar. Maha suci Allah yang hanya menerima hamba-Nya yang suci. Kesucian itu telah Allah anugerahkan kepada kita semua, tetapi perjalanan waktu dan bertambahnya nikmat justru kita balas dengan bergeser dari kesucian. Maha suci Allah yang senantiasa membuka pintu taubat-Nya bagi semua hamba-Nya. Bertaubat mengantarkan manusia pada posisi fitrah layaknya bayi baru dilahirkan.  Sambutlah seruan Tuhanmu:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)  
___________________