وعن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من
كانت عنده مظلمةٌ لأخيه؛ من عرضه أو من شيءٍ، فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون
دينارٌ ولا درهمٌ؛ إن كان له عملٌ صالحٌ أخذ منه بقدر مظلمته، وإن لم يكن له
حسناتٌ أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه رواه البخاري
Dari Abi Hurairah RA. Dari Rasulullah Saw. Bersabda:
Barang siapa memiliki perbuatan dzalim terhadap saudaranya menyangkut harga diri atau sesuatu lainnya, hendaklah hari ini memohon halal darinya sebelum Dinar
dan Dirham tidak berlaku. Barang siapa memiliki (pahala) amal shalih akan
diambil sesuai kedzaliman yang telah ia lakukan, jika tidak memilikinya maka ia
akan diambilkan dosa dari orang yang didzaliminya lalu dibebankan kepadanya.
(HR. Bukhari)
Halal bihalal memang bukan istilah syar’i yang
mendapatkan porsi khusus dalam bahasan fiqih ataupun aqidah. Namun bukan berarti sesuatu yang dilarang secara
syar’i. Halal bihalal diperintahkan berdasarkan hadits
di atas. Adapun teknis pelaksanaannya tidak dijelaskan secara rinci. Hal ini
menguntungkan kaum muslimin dan akan selalu aktual dan relevan dengan kondisi
zaman. Atau barangkali sudah dilakukan kalangan tertentu akan tetapi tidak
diberi nama halal bihalal.
Pada umumnya halal bihalal adalah kegiatan silaturahim
antara dua orang atau lebih yang menghalalkan/menghapuskan kesalahan yang telah
mereka lakukan dengan saling memaafkan sesama mereka dalam moment Idul Fitri.
Halal bihalal hukumnya bid’ah bagi mereka yang hanya
memahami bahwa ia merupakan ibadah dan karenanya harus ada nash sharih (dalil
naqli) yang penunjukannya langsung dengan lafadz Halal bihahal, karena memang
tidak ada lafadz halal bihalal di hadits manapun di dalam al-Qur’an. Akan
tetapi halal bihalal hukumnya sunnah bahkan wajib bagi mereka yang memahami
bahwa tidak setiap perintah harus menggunakan nash sharih. Dan faktanya, syari’at Islam banyak sekali yang tidak
ditunjuki dengan nash sharih atau dalil naqli lafdzi.
Halal bihalal adalah implementasi dari فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون
دينارٌ ولا درهمٌ
(maka hendaklah ia memohon dihalalkan darinya pada hari ini sebelum Dinar dan
Dirham tidak berlaku).
Janganlah memperdebatkan hukum halal bihalal melebihi
porsi yang dibutuhkan agar tidak lupa terhadap substansi hadits di atas.
Hampir pasti, kita semua pernah mendzlimi orang lain
menyangkut harga diri maupun materi/harta kepemilikan. Terkadang hal itu terjadi
dengan kesadaran dan terkadang di luar kesadaran, bukan karena tidak tahu
tetapi karena telah menjadi kebiasaan. Sebut saja ghibah misalnya, bisa jadi ia bergulir dengan
asyik seolah bukan perbuatan dosa dengan dalih untuk perbaikan. Padahal kebaikan
apakah yang didapat oleh orang yang dibicarakan aibnya selain semakin merosot harga
dirinya di hadapan orang lain, dan setelah itu semakin meluas aibnya yang
berarti semakin sempit wilayah kepercayaan publik terhadapnya.
Caci maki, umpat, hardik dan sumpah serapah terjadi
satu sama lainnya selain menyisakan sakit hati adalah merupan penindas akal
pikiran positif, yang jika terjadi terus-menerus akan menyebabkan otak bekerja
untuk membenarkan kata-kata yang tidak terpuji itu. Dan pada gilirannya akan
melahirkan umat/bangsa yang tidak bermartabat.
‘Ujub seolah-olah menjadi barang yang halal sebab
secara sosial tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Padahal orang ‘ujub
cenderung menganggap rendah orang lain sekalipun tidak diungkapkan secara
verbal. Dengan demikian masyarakat dirugikan olehnya terutama dalam masyarakat
pendidikan. Setidaknya akan menular kepada orang lain sebagai bentuk pembalasan
terhadapnya.
Itulah sebagaian “kebiasaan-kebiasaan” yang mesti dienyahkan
dari pergaulan kemanusiaan, dan Islam hadir membawa kebenaran yang tidak
mengandung keraguan. Kita sebagai manusia biasa tetapi mendapatkan predikat
sebagai muslim yang berarti menisbatkan kemanusiaan kita kepada Islam. Konsekwensinya, tuntutan Islam harus kita utamakan
mengalahkan pertimbangan perasaan dan kemanusiaan, sebab Islam adalah kebenaran
mutlak sementara manusia merupakan kumpulan nurani dan nafsu, berpotensi
memahami dan mengamalkan wahyu tetapi juga rentan tipu daya setan, bisa mulia
bisa juga hina.
Hendaknya kita semua memahami halal-bihalal dengan benar,
agar sasaran yang diharapkan dapat kita raih. Ada baiknya kita bahas masalah
taubat terlebih dahulu, karena keberhasilan halal bihalal kita berkaitan erat
dengannya.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar taubat kita
sah dan diterima oleh Allah Swt. Jika perbuatan dosa atau maksiyat itu
dilakukan oleh mansuia kepada Tuhannya dan tidak berkaitan dengan hak Adami
maka syaratnya ada tiga, pertama berusaha mencabut maksiyat, kedua
menyesali perbuatan maksiyat dan ketiga bera’zam untuk tidak megulangi
lagi. Jika satu saja dari syarat tersebut tidak ada maka taubat itu tidak sah.
Selanjutnya jika maksiyat itu menyangkut hak Adam maka
syarat tersebut ditambah satu lagi yaitu minta dibebaskan kepada orang yang
didalimi ; jika harta maka harus dikembalikan, jika had qodaf maka harus
dilaksanakan atau memohon maaf darinya, dan jika ghibah maka harus berterus
terang dan mohon untuk dihalalkan.
Berdasarkan uraian di atas, halal bihalal semestinya
disertai ungkapan verbal permintaan maaf dan penjelasan kesalahan yang telah ia
lakukan, jika kesalahan itu menyangkut masalah harga diri, dan jika menyangkut
masalah materi atau harta maka harus ada pengembalian harta tersebut. Jika
belum mampu, hendaklah memohon waktu kepada pihak yang dirugikan, atau jika
tidak memungkinkan, minta keringanan kepadanya.
Tanpa keterbukaan, sesungguhnya bisa saja pihak yang
dirugikan memaafkan tetapi niat maaf tersebut tidak meliputi kadzaliman yang
tidak disebutkan. Ini artinya halal bihahal yang masih menyisakan dosa. Halal
bihalal yang secara lahir menghadirkan keharmonisan namun tidak mampu
mengembalikan fitrah sebelum kezaliman.
Upaya ini memang berat, mungkin masih jarang kaum
muslimin yang mampu melakukannya. Tetapi jauh lebih berat jika tidak dilakukan.
Oleh karena itu simaklah pernyataan Rasulullah Saw. Berikut ini:
Dari Abi Hurairah RA. Dari Rasulullah Saw. Bersabda:
Barang siapa memiliki perbuatan dzalim terhadap saudaranya menyangkut harga diri atau sesuatu lainnya, hendaklah hari ini memohon halal darinya sebelum Dinar
dan Dirham tidak berlaku. Barang siapa memiliki (pahala) amal shalih akan
diambil sesuai kedzaliman yang telah ia lakukan, jika tidak memilikinya maka ia
akan diambilkan dosa dari orang yang didzaliminya lalu dibebankan kepadanya.
(HR. Bukhari)
Ada dua opsi yang ditawarkan dalam sabda nabi di atas:
pertama menyelesaikan urusan di dunia dengan menempuh jalan taubat yang
benar. Halal bihalal dengan mengembalikan segala sesuatu pada tempatnya atau
orangnya yang berhak. Kedua membawa urusannya ke akhirat yang berarti
siap untuk bangkrut. Padahal ia sendiri membutuhkan bekal yang sangat
banyak. Ia akan dikurangi pahala kebaikannya untuk diberikan kepada orang yang
dizalimi.
Marilah kita maknai halal bihalal tahun ini dengan taubat
yang benar. Maha suci Allah yang hanya menerima hamba-Nya yang suci. Kesucian
itu telah Allah anugerahkan kepada kita semua, tetapi perjalanan waktu dan
bertambahnya nikmat justru kita balas dengan bergeser dari kesucian. Maha suci
Allah yang senantiasa membuka pintu taubat-Nya bagi semua hamba-Nya. Bertaubat
mengantarkan manusia pada posisi fitrah layaknya bayi baru dilahirkan. Sambutlah seruan Tuhanmu:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)
___________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar