Rabu, 21 November 2012

Mari Menulis


MENULIS

 “Gagasan yang baik seringkali tidak tersampaikan karena kita sibuk memikirkan bagaimana membuat awalan. Padahal awalan yang terbaik adalah cetusan gagasan itu sendiri.”

Itulah kalimat pembuka yang saya ambil dari tulisan ustadz Mohammad Fauzil Adhim, dalam bukunya, Inspiring Words for writters.
Menulis adalah menyatakan gagasan di atas kertas.  Gagasan bisa bermanfaat bagi orang banyak, baik disampaikan secara lisan maupun tulisan. Lisan, terbatas ruang dan waktunya, sedangkan tulisan mampu menjelajah lintas generasi. Maka orang yang mengemas gagasannya dengan baik dan menuliskannya dalam buku, berhak mendapatkan pahala jariyah. Ia termasuk sebaik-baik orang, yaitu orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.  Umurnya panjang sebab  karya tulisnya menjadi dutanya untuk bersilaturrahim kepada generasi setelahnya. Orang yang punya karya tulis akan  ‘hidup dan terus hidup’ meskipun jasadnya telah hancur dimakan tanah. Pemikirannya  akan terus dibaca dan diamalkan orang-orang yang bersinggungan dengan karya tulisnya.
Tidak ada salahnya memang gagasan atau kebaikan  disampaikan secara lisan, akan tetapi mudah dilupakan orang dan sering tercecer bersama lanjutnya usia.  Akan banyak udzur yang menghijab kehebatannya ketika kerja tulis belum menjadi kebiasaan. Menurut Ustad Mohammad Fauzil Adhim, untuk menulis sebetulnya tidak perlu menjadi hebat. Sebab seringkali yang menghadang pena kita adalah keinginan untuk melahirkan tulisan yang banyak disanjung orang. Sementara yang memecah kebuntuan adalah sikap apa adanya dalam menuturkan kebenaran.  jadi menulislah apa adanya yang terpenting muatan tulisan itu adalah kebenaran.
       Kebenaran adalah milik Allah,  jika kita menulis kebenaran maka tidak akan pernah kehabisan, bahkan andaikan air di lautan kita jadikan tinta untuk menuliskannya maka ia akan habis kering sebelum kita selesai menulis ilmu Allah bahkan tidak akan pernah selesai.  Kalau kita tidak menulis sesungguhnya bukan tidak bisa, akan tetapi kemalasan dan keengganan untuk memulai, masih kita piara dengan baik. Do’a yang diajarkan Rasullah Saw. kepada kita baru sebatas kita hapal di bibir. Maka sayap do’a-do’apun patah dan jatuh gagal meyakinkan,  tidak memenuhi kualifikasi amal yang menyentuh arsy pengabulan.  Bukankah Rasulullah mengajarkan do’a:
 للهم إني أعوذ بك من العجز و الكسل و الجبن و الهرم و أعوذ بك من عذاب القبر و أعوذ بك من فتنة المحيا و الممات "
Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari lemah dan malas, pengecut dan( berjiwa) tua, Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan segala fitnah kehidupan dan kematian.
       Kita memohon kepada Allah untuk dilindungi  dari kemalasan, maka kita harus merelakan kemalasan itu pergi dari habitat kita.
      Pada dasarnya lemah, malas, pengecut, merasa tua itu semuanya makhluk asing yang berasal dari luar diri kita. Tidak seorangpun –di dunia ini-  yang terlahir membawa kemalasan. Jadi pada dasarkan kita tidak malas. Bukankah persaingan hidup sudah dimulai sejak pembuahan sel telur oleh sperma. Jutaan sel sperma gugur menembus ovum dan hanya satu yang berhasil untuk selanjutnya menjadi manusia. Inilah isyarat bahwa hidup adalah perjuangan dan kemenangan. Kemenangan hanya akan berpihak kepada mereka yang mau menepis kemalasan. Untuk tidak malas hanya dibutuhkan kemauan. Hal ini juga berlaku untuk menulis.  Jadi kalau mau,  siapapun bisa menulis.

Nyatanya tidak banyak orang yang bisa menjadi penulis?
       Kenyataan adalah wilayah umum. Ada wilayah khusus yang membidani kenyataan. Wilayah yang membidani kenyataan  tidak selalu muncul ke permukaan, karenanya seringkali diabaikan orang.   Banyak orang berdecak kagum melihat kehebatan orang sukses tetapi tidak mau melihat latar belakang kesuksesannya. Akibatnya, kaidah kesuksesan tidak berlaku bagi dirinya.
Di dalam al-Qur’an, wilayah khusus ini disebut dengan sababan
إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا () فَأَتْبَعَ سَبَبًا(الكهف 84-85)
Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun menempuh suatu jalan (QS al-Kahfi 84-85)
Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan sababa pada ayat tersebut adalah  ilmu yang mengantarkan kepada apa yang dikehendaki. Berdasarkan ayat di atas kalau kita ingin mencapai apa saja yang kita inginkan, termasuk bisa menulis, maka cukup berkonsentrasi pada  sabab (ilmu, cara) yang mengantarkan kepada keinginan kita. Inilah pentingnya ilmu.
       Tapi sayang mindset kita seringkali membatasi obsesi-obsesi besar yang sudah digapai oleh orang lain dengan alasan qana’ah padahal ’ajzu (lemah), atau zuhud padahal jahlu (tidak menguasai ilmunya). Hendaknya kita bersikap adil pada diri kita. Jangan memponish  “tidak bisa” padahal belum berusaha, atau baru mencoba usaha. Otak kita akan bekerja membenarkan apa yang kita ucapkan, kalau kita berpikir bisa maka ia akan mengerahkan seluruh potensinya, sebaliknya ketika kita berpikir tidak bisa, maka iapun mengumpulkan sejuta alasan untuk membenarkan kemalasan kita.
 Allah akan senantiasa menambahkan kenikmatan kepada kita jika apa yang ada selalu kita syukuri. Marilah kita menulis dalam rangka bersyukur kepada Allah atas mata ,telinga, hati dan seluruh potensi yang ada.
Bukankah Imam Bukhari (ahli Hadits) mensyukuri kecerdasannya dengan menghafal, maka Allah menambah kenikmatan berikut- nya, ia hafal tiga ratus ribu hadits. Dan masih banyak ulama’ besar yang membuktikannya.  Demikian juga kita bisa menjadi penulis kalau potensi dasar yang ada kita syukuri dengan selalu mengasahnya. Selamat berkarya. Wallahu a’lam  

1 komentar:

  1. Barakallah Ustadz... Tulisan ustadz bagus-bagus, menginspirasi dan bisa jadi sumber belajar nih...

    BalasHapus