MENULIS
“Gagasan yang baik
seringkali tidak tersampaikan karena kita sibuk memikirkan bagaimana membuat
awalan. Padahal awalan yang terbaik adalah cetusan gagasan itu sendiri.”
Itulah kalimat pembuka yang saya
ambil dari tulisan ustadz Mohammad Fauzil Adhim, dalam bukunya, Inspiring Words
for writters.
Menulis adalah menyatakan gagasan
di atas kertas. Gagasan bisa bermanfaat
bagi orang banyak, baik disampaikan secara lisan maupun tulisan. Lisan,
terbatas ruang dan waktunya, sedangkan tulisan mampu menjelajah lintas
generasi. Maka orang yang mengemas gagasannya dengan baik dan menuliskannya
dalam buku, berhak mendapatkan pahala jariyah. Ia termasuk sebaik-baik orang,
yaitu orang yang panjang umurnya dan baik amalnya. Umurnya panjang sebab karya tulisnya menjadi dutanya untuk
bersilaturrahim kepada generasi setelahnya. Orang yang punya karya tulis
akan ‘hidup dan terus hidup’ meskipun
jasadnya telah hancur dimakan tanah. Pemikirannya akan terus dibaca dan diamalkan orang-orang
yang bersinggungan dengan karya tulisnya.
Tidak ada salahnya memang gagasan
atau kebaikan disampaikan secara lisan,
akan tetapi mudah dilupakan orang dan sering tercecer bersama lanjutnya
usia. Akan banyak udzur yang menghijab
kehebatannya ketika kerja tulis belum menjadi kebiasaan. Menurut Ustad Mohammad
Fauzil Adhim, untuk menulis sebetulnya tidak perlu menjadi hebat. Sebab
seringkali yang menghadang pena kita adalah keinginan untuk melahirkan tulisan
yang banyak disanjung orang. Sementara yang memecah kebuntuan adalah sikap apa
adanya dalam menuturkan kebenaran. jadi
menulislah apa adanya yang terpenting muatan tulisan itu adalah kebenaran.
Kebenaran adalah milik Allah, jika kita menulis kebenaran maka tidak akan
pernah kehabisan, bahkan andaikan air di lautan kita jadikan tinta untuk
menuliskannya maka ia akan habis kering sebelum kita selesai menulis ilmu Allah
bahkan tidak akan pernah selesai. Kalau
kita tidak menulis sesungguhnya bukan tidak bisa, akan tetapi kemalasan dan
keengganan untuk memulai, masih kita piara dengan baik. Do’a yang diajarkan
Rasullah Saw. kepada kita baru sebatas kita hapal di bibir. Maka sayap
do’a-do’apun patah dan jatuh gagal meyakinkan,
tidak memenuhi kualifikasi amal yang menyentuh arsy pengabulan. Bukankah Rasulullah mengajarkan do’a:
للهم إني أعوذ بك من العجز و الكسل
و الجبن و الهرم و أعوذ بك من عذاب القبر و أعوذ بك من فتنة المحيا و الممات
"
Ya Allah aku berlindung kepada-Mu
dari lemah dan malas, pengecut dan( berjiwa) tua, Ya Allah aku berlindung
kepada-Mu dari siksa kubur dan segala fitnah kehidupan dan kematian.
Kita memohon kepada Allah untuk
dilindungi dari kemalasan, maka kita harus
merelakan kemalasan itu pergi dari habitat kita.
Pada dasarnya lemah, malas, pengecut,
merasa tua itu semuanya makhluk asing yang berasal dari luar diri kita. Tidak
seorangpun –di dunia ini- yang terlahir
membawa kemalasan. Jadi pada dasarkan kita tidak malas. Bukankah persaingan
hidup sudah dimulai sejak pembuahan sel telur oleh sperma. Jutaan sel sperma
gugur menembus ovum dan hanya satu yang berhasil untuk selanjutnya menjadi
manusia. Inilah isyarat bahwa hidup adalah perjuangan dan kemenangan.
Kemenangan hanya akan berpihak kepada mereka yang mau menepis kemalasan. Untuk
tidak malas hanya dibutuhkan kemauan. Hal ini juga berlaku untuk menulis. Jadi kalau mau, siapapun bisa menulis.
Nyatanya tidak banyak orang yang
bisa menjadi penulis?
Kenyataan adalah wilayah umum. Ada
wilayah khusus yang membidani kenyataan. Wilayah yang membidani kenyataan tidak selalu muncul ke permukaan, karenanya
seringkali diabaikan orang. Banyak
orang berdecak kagum melihat kehebatan orang sukses tetapi tidak mau melihat
latar belakang kesuksesannya. Akibatnya, kaidah kesuksesan tidak berlaku bagi
dirinya.
Di dalam al-Qur’an, wilayah
khusus ini disebut dengan sababan
إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
سَبَبًا () فَأَتْبَعَ سَبَبًا(الكهف 84-85)
Sesungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah
memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun
menempuh suatu jalan (QS al-Kahfi 84-85)
Menurut Ibnu
Abbas yang dimaksud dengan sababa pada ayat tersebut adalah ilmu yang mengantarkan kepada apa yang
dikehendaki. Berdasarkan ayat di atas kalau kita ingin mencapai apa saja yang
kita inginkan, termasuk bisa menulis, maka cukup berkonsentrasi pada sabab (ilmu, cara) yang mengantarkan
kepada keinginan kita. Inilah pentingnya ilmu.
Tapi sayang mindset kita seringkali
membatasi obsesi-obsesi besar yang sudah digapai oleh orang lain dengan alasan qana’ah
padahal ’ajzu (lemah), atau zuhud padahal jahlu (tidak
menguasai ilmunya). Hendaknya kita bersikap adil pada diri kita. Jangan
memponish “tidak bisa” padahal belum
berusaha, atau baru mencoba usaha. Otak kita akan bekerja membenarkan apa yang
kita ucapkan, kalau kita berpikir bisa maka ia akan mengerahkan seluruh
potensinya, sebaliknya ketika kita berpikir tidak bisa, maka iapun mengumpulkan
sejuta alasan untuk membenarkan kemalasan kita.
Allah akan senantiasa menambahkan kenikmatan
kepada kita jika apa yang ada selalu kita syukuri. Marilah kita menulis dalam
rangka bersyukur kepada Allah atas mata ,telinga, hati dan seluruh potensi yang
ada.
Bukankah Imam Bukhari (ahli
Hadits) mensyukuri kecerdasannya dengan menghafal, maka Allah menambah
kenikmatan berikut- nya, ia hafal tiga ratus ribu hadits. Dan masih banyak
ulama’ besar yang membuktikannya.
Demikian juga kita bisa menjadi penulis kalau potensi dasar yang ada
kita syukuri dengan selalu mengasahnya. Selamat berkarya. Wallahu a’lam
Barakallah Ustadz... Tulisan ustadz bagus-bagus, menginspirasi dan bisa jadi sumber belajar nih...
BalasHapus