Rabu, 16 April 2014

Bismillah dalam Belajar


Oleh: Syamsul hadi
        Sesungguhnya alam semesta, termasuk manusia, diciptakan dalam takaran keseimbangan. Secara naluriah manusia akan bertindak sesuai dengan kaidah yang berlaku pada dirinya jika saja belum terkontaminasi virus merusak yang berkembang di sekitarnya. Lalu Allah membekalinya dengan al-Qur’an, petunjuk suci yang mengandung kebenaran mutlaq dan memiliki elastisitas untuk diterapkan di setiap tempat dan zaman.   Dalam masalah-masalah yang menyangkut mu’amalah al-Qur’an memberikan teks global untuk dirinci sendiri oleh manusia sesuai dengan tuntutan zaman, berbeda dengan masalah aqidah dan ibadah maka al-Qur’an lebih rinci memaparkannya.  Dan jika belum cukup untuk dipahami secara umum, rasulullah menjelaskannya lebih lanjut.
        Tidak satupun ayat al-qur’an yang kontradiktif dengan kebutuhan manusia akan tetapi manusialah yang seringkali memiliki kepentingan menerjang al-Qur’an. Hal ini terjadi akibat dari renggangnya komunikasi dengan sang Khaliq.
Persepsi salah terhadap wahyu Allah, pertama kali dimunculkan oleh Iblis, di mana dalam pandangannya kemuliaan itu diukur berdasarkan asal penciptaan. Karena Adam dari tanah dan dirinya dari api maka dalam pandangannya dirinya lebih mulia. Kesimpulan Iblis yang salah berlanjut pada pembangkangan terhadap perintah  Allah.  Iblis cerdas tetapi tidak terbimbing maka hasilnya tidak benar dan tidak memberikan maslahat, baik untuk dirinya apalagi untuk orang lain.
        Kecerdasan jika dibiarkan liar tanpa bimbingan akan membuahkan kesombongan dan menyesatkan orang lain. 
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (75)
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?(QS. Al-Baqarah:75)
        Jika ada yang menyerukan untuk “keluar” dari Islam dan mengerahkan kemampuan akalnya untuk memahami Islam agar hasilnya obyektif, saya yakin justru hasilnya tidak obyektif. Sebab Islam adalah milik Allah, tidak punya kepentingan terhadap makhluk-Nya. Sementara kemampuan akal sesungguhnya sangat rentan terhadap kepentingan manusia itu sendiri.  Betapa banyak manusia yang akalnya sehat tetapi prilakunya gila lantaran dikalahkan oleh kepentingan nafsunya. Bagaimana bisa mengalahkan nafsu syahwatnya jika “keluar” dari bimbingan al-Qur’an.
        Meninggalkan  Al-Qur’an –meskipun sementara- untuk mendapatkan keyakinan yang obyektif  adalah tindakan “ilmiah” yang dipaksakan. Kebenaran itu sudah ada tidak perlu dicari. Yang perlu kita lakukan adalah membersihkan diri dari kebodohan dan keraguan dengan belajar dan menempatkan nafsu pada tempatnya. Cara ini relevan dengan perintah Allah untuk membaca dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Belajar Ilmiah, obyektif dan terjamin kebenarannya hanya kita dapatkan jika kembali pada kaidah belajar yang benar (lihat surat . Al-”Alaq 1-5)   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar