Oleh: Syamsul hadi
Sesungguhnya alam semesta, termasuk
manusia, diciptakan dalam takaran keseimbangan. Secara naluriah manusia akan
bertindak sesuai dengan kaidah yang berlaku pada dirinya jika saja belum
terkontaminasi virus merusak yang berkembang di sekitarnya. Lalu Allah
membekalinya dengan al-Qur’an, petunjuk suci yang mengandung kebenaran mutlaq
dan memiliki elastisitas untuk diterapkan di setiap tempat dan zaman. Dalam masalah-masalah yang menyangkut mu’amalah
al-Qur’an memberikan teks global untuk dirinci sendiri oleh manusia sesuai
dengan tuntutan zaman, berbeda dengan masalah aqidah dan ibadah maka
al-Qur’an lebih rinci memaparkannya. Dan
jika belum cukup untuk dipahami secara umum, rasulullah menjelaskannya lebih
lanjut.
Tidak satupun ayat al-qur’an yang
kontradiktif dengan kebutuhan manusia akan tetapi manusialah yang seringkali
memiliki kepentingan menerjang al-Qur’an. Hal ini terjadi akibat dari
renggangnya komunikasi dengan sang Khaliq.
Persepsi
salah terhadap wahyu Allah, pertama kali dimunculkan oleh Iblis, di mana dalam
pandangannya kemuliaan itu diukur berdasarkan asal penciptaan. Karena Adam dari
tanah dan dirinya dari api maka dalam pandangannya dirinya lebih mulia.
Kesimpulan Iblis yang salah berlanjut pada pembangkangan terhadap perintah Allah.
Iblis cerdas tetapi tidak terbimbing maka hasilnya tidak benar dan tidak
memberikan maslahat, baik untuk dirinya apalagi untuk orang lain.
Kecerdasan jika dibiarkan liar tanpa
bimbingan akan membuahkan kesombongan dan menyesatkan orang lain.
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ
كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ
مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (75)
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal
segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah
mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?(QS. Al-Baqarah:75)
Jika ada
yang menyerukan untuk “keluar” dari Islam dan mengerahkan kemampuan akalnya
untuk memahami Islam agar hasilnya obyektif, saya yakin justru hasilnya tidak
obyektif. Sebab Islam adalah milik Allah, tidak punya kepentingan terhadap
makhluk-Nya. Sementara kemampuan akal sesungguhnya sangat rentan terhadap
kepentingan manusia itu sendiri. Betapa
banyak manusia yang akalnya sehat tetapi prilakunya gila lantaran dikalahkan
oleh kepentingan nafsunya. Bagaimana bisa mengalahkan nafsu syahwatnya jika “keluar”
dari bimbingan al-Qur’an.
Meninggalkan
Al-Qur’an –meskipun sementara- untuk mendapatkan keyakinan yang
obyektif adalah tindakan “ilmiah” yang
dipaksakan. Kebenaran itu sudah ada tidak perlu dicari. Yang perlu kita lakukan
adalah membersihkan diri dari kebodohan dan keraguan dengan belajar dan
menempatkan nafsu pada tempatnya. Cara ini relevan dengan perintah Allah untuk
membaca dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Belajar Ilmiah, obyektif
dan terjamin kebenarannya hanya kita dapatkan jika kembali pada kaidah belajar
yang benar (lihat surat . Al-”Alaq 1-5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar