Jika teman-teman lesu dalam berdakwah, mungkin visi ukhrawinya belum jelas nyata. Perlu penegasan kembali. Ingat….. semangat itu adanya di dalam hati. Keletihan jasad hanyalah akibat problem hati. Hati yang kokoh adalah yang selalu disandarkan kepada pemiliknya. Allahlah pemilik hati manusia (QS:8:24)
Hati yang hidup, mampu menjelajah keinginan
lintas ruang, waktu dan logika. Tabiat api adalah panas dan membakar, namun
tidak berlaku bagi nabi Ibrahim As. Cintanya kepada Allah mengalahkan logika
semesta.
Sederhananya; kalau teman-teman Serang diundang
ke Jakarta, cuacanya sangat buruk; hujan lebat, angin kencang dan kemungkinan
banjir, untuk mengambil hadiah. Tentu cuaca ekstrem itu tidak menjadi
penghalang. Saat itu akal sehat bekerja positif mengatasi hambatan. Sebaliknya jika
undangan tersebut justru untuk membayar sisa hutang, kemungkinan besar tidak
berangkat dan akalpun bekerja negatif mencari dan membuat alasan. Grimispun cukup
sebagai alasan.
Berikut cuplikan kisah yang sangat berkesan,
mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran buat kita semua.
“ Belum pernah Hisyam bin Yahya menemukan
seseorang seperti Said bin Harits. Said adalah satu dari sekian banyak
orang yang ikut jihad ke negeri Rum pada tahun 88 H. Pemuda ini sangat kuat beribadah; puasa setiap hari, dan malamnya bangun salat
malam. Jika sedang berjalan-jalan, ia membaca al-Quran, bila sedang berdiam diri di kemah, ia
membaca dzikir.
Tepat tengah malam, ketika rombongan itu sangat
khawatir dari serangan musuh, Hisyam dan Said sama-sama berjaga. Malam itu
memang giliran mereka. Pada waktu itu, benteng musuh telah terkurung. Ketika
semalaman dilihatnya Said bin Harits beribadah, maka Hisyam pun menasihatinya,
“Engkau harus mengistirahatkan badanmu. Sebab itu hak badanmu.”
Mendengar kata-kata itu, Said malah menangis.
Ia menjawab, “Ini hanya beberapa nafas yang dapat dihitung dan umur yang
akan habis serta hari akan segera berlalu. Sedang aku hanya menantikan maut dan
berlomba menghadapi keluarnya ruh.”
Sungguh, Hisyam bin Yahya merasa sangat pilu.
Ia tahu benar pemuda di hadapannya ini tak pernah berhenti melakukan kebaikan untuk diri dan umatnya. Maka dengan hati yang pilu,
ia berkata lagi, “Aku bersumpah dengan nama Allah. Masuklah engkau ke dalam
kemah untuk istirahat.”
Maka Saidpun masuk dan tidur. Sedang Hisyam
duduk di luar kemah. Tiba-tiba Hisyam mendengar suara dalam kemah. Padahal
selain Said, tiada orang lagi. Ketika Hisyam melihat ke dalam kemah, Said
berkata, “Aku tidak suka kembali.”
Ia mengulurkan tangan kanannya. Dan ia melompat
bangun dari tidurnya. Hisyam tidak bisa menyembunyikan keheranannya. Ia segera
mendekap pemuda itu sambil mendekapnya. “Ada apakah? Kenapa kau berkata
begitu?” tanya Hisyam.
“Aku tidak akan memberitahukannya padamu,”
jawab Said.
Hisyam bersumpah dengan nama Allah supaya Said
memberitahukan hal itu padaanya. Said malah balik bertanya, “Apakah engkau
berjanji tidak akan membuka rahasia itu selama hidupku?”
“Baiklah.”
Said menarik nafas. Sejurus kemudian, ia berkata, “Aku bermimpi, seolah telah tiba hari kiamat. Semua orang telah keluar menunggu panggilan Allah. Dalam keadaan itu tiba-tiba ada dua orang menghampiriku. Tiada orang yang sebagus kedua orang itu. Mereka menyalamiku dan mereka berkata kepadaku:
Said menarik nafas. Sejurus kemudian, ia berkata, “Aku bermimpi, seolah telah tiba hari kiamat. Semua orang telah keluar menunggu panggilan Allah. Dalam keadaan itu tiba-tiba ada dua orang menghampiriku. Tiada orang yang sebagus kedua orang itu. Mereka menyalamiku dan mereka berkata kepadaku:
“Terimalah kabar baik. Allah telah mengampuni dosamu
dan memuji usahamu. Allah menerima amal baik dan doamu. Karena itu, marilah
pergi untuk kami perlihatkan kepadamu nikmat yang tersedia untukmu.”
Lalu, keduanya membawaku keluar dari tempat
itu. Mereka menyediakan kuda yang tidak serupa dengan kuda-kuda yang ada di
dunia, sebab larinya bagaikan kilat atau angin yang kencang. Dan akupun
mengendarainya, sehingga sampai di gedung yang tinggi dan besar. Gedung itu
tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, seakan-akan terbuat dari perak
yang berkilatan. Ketika aku sampai di muka pintu, tiba-tiba pintu terbuka
sebelum diketuk, lalu aku masuk dan melihat segala sesuatu yang tidak dapat
disifatkan dan tergerak dalam hati. Dan bidadari-bidadari serta pelayan-pelayan
sebanyak bintang di langit. Dan ketika mereka melihat aku, mereka
bernyanyi-nyanyi dengan berbagai nyanyian. Seorang dari mereka berkata, “Itu
kekasih Allah telah tiba, ucapkanlah selamat datang kepadanya.”
Sampai di situ, Said menghentikan ceritanya
sejenak. Hisyam mendengarkan dengan saksama. Said pun melanjutkan, “Lalu aku
berjalan hingga sampailah di ruangan tidur terbuat dari emas bertaburan
permata, diliputi dengan kursi emas. Tiap-tiap kursi ada gadis yang tidak dapat
disifatkan oleh manusia kecantikannya, dan di tengah-tengah mereka ada yang
tinggi dan tercantik. Kedua orang yang membawaku berkata, ‘Itu keluargamu dan
ini tempatmu.’ Kemudian mereka meninggalkannku. Lalu gadis-gadis itu datang
kepadaku memberi sambutan dan mereka mendudukkan aku di tengah, di samping
gadis yang cantik sambil berkata, ‘Itu istrimu.’
Aku bertanya kepadanya, "Dimanakah aku
ketika itu?" Dan ia menjawab, "Engkau di Jannatul Ma’wa".
Lalu aku bertanya "siapa dia?"
Ternyata ia adalah istriku yang kekal. Lalu aku ulurkan tanganku kepadanya,
tetapi ditolak dengan halus sambil berkata, ‘Kini kamu harus kembali ke dunia
dan tinggal tiga hari’. Nah, aku tidak suka itu. Hingga aku berkata, ‘Aku tidak
suka kembali,” Said mengakhiri ceritanya. Mendengar cerita itu, Hisyam tidak dapat
menahan air mata. “Beruntung kau Said. Allah telah memperlihatkan pahala amal
baikmu.” Said malah bertanya, “Apakah ada orang lain yang melihat kejadian
ini?” “Tidak”. Lalu ia berkata, “Tutuplah hal ini selama
hidupku.”
Said berwudhu dan berminyak harum. Ia lalu
mengambil senjatanya dan menuju ke medan perang sambil berpuasa. Hisyam tak
hentinya mengagumi pemuda itu. Orang-orang banyak menceritakan kehebatan
perjuangannya, belum pernah mereka melihat perjuangan sedemikian. Ia meletakkan
dirinya dalam serangan musuh, dan mengatasinya.
Pada hari kedua, ia bertempur lebih hebat. Pada
waktu malam, Said tetap melaksanakan salat dan bangun pagi untuk kembali maju
ke medan perang. Pemuda itu tak hentinya menerapkan apa yang ia kerjakan malam
dan siang hari. Sepanjang hari itu ia bertempur terus-menerus. Hingga tepat
matahari terbenam, tibalah sebuah panah mengenai lehernya. Jatuhlah ia sebagai
syahid. Hisyam tetap memperhatikannya, sedang orang-orang mengangkatnya.
“Bahagialah engkau, berbuka malam ini.
Sekiranya aku bersamamu,” ujar Hisyam. Said mengginggit bibirnya sambil
tersenyum, “Alhamdulillaahilladzi sadaqana wa’dahu,” kemudian dia mengingal
dunia.
Saat itu, Hisyam berkata kepada orang-orang. “Hai sekalian orang, seperti inilah kita harus berlomba-lomba.” Orang-orang pun semakin tahu bahwa Said telah mengorbankan waktu dan hidupnya untuk dakwah. Untuk sebuah perjuangan. Tidak ada istilah rugi untuknya. Ia berjuang untuk Allah. Walaupun harus berdarah-darah. Setiap malam, ia khusyuk bermunajat kepada Allah terus mendekatkan diri, meningkatkan kemampuan dan kekuatan dirinya. Siang, ia bertempur menghadapi musuh. Sepanjang malam, orang hanya menceritakan keadaan itu saja. (Saad Saefullah) “
Kisah dikutip dari: saksi-online</< b>